Pesona Bromo memang mengundang decak kagum siapa saja yang menyaksikannya. Saya yang menetap di Kalimantan tidak pernah merasakan dinginnya pegunungan. Kami lebih terbiasa dengan panas dan hujan deras. Beruntung saya dapat kesempatan mengunjungi Bromo sebagai salah satu obyek wisata andalan Indonesia.
Gunung Bromo ada di Kabupaten Probolinggo. Dari Surabaya kami menyewa mobil menuju kabupaten Probolinggo. Sebenarnya banyak jalan menunju Gn.Bromo. Selain lewat Probolinggo, bisa juga lewat Lumajang. Tapi menurut driver yang mengantarkan kami, lewat Probolinggo jaraknya lebih dekat. Saya tidak tau pasti berapa lama waktu yang kami tempuh untuk sampai ke sana. Di perjalanan, kami menyempatkan diri singgah di kawasan yang terkena lumpur Lapindo. Jalanan sempit dan berdebu, rumah rumah, fasilitas umum dan sawah sawah penduduk semua terendam lumpur. Pemandangan yang sungguh menyedihkan.
Menjelang sore, akhirnya kami tiba di desa terdekat Gn.Bromo. Udara mulai dingin. Kabut tipis perlahan mulai turun menyelimuti desa. Kami bergegas menuju penginapan, tidak sabar rasanya untuk membaringkan badan. Sejenak beristirahat, kami pun keluar penginapan untuk melihat lihat desa sembari meminum wedang jahe dan menyantap mie rebus spesial pake telur...hmmm....yummy
Pemandangan sudah tidak terlihat jelas, karena tertutup kabut. Gn.Batok yang tinggi menjulang sudah tidak terlihat. Sesekali hembusan angin meniup kabut, terlihatlah tingginya Gn.Batok di depan mata. Tak kuat menahan dingin yang semakin menusuk, akhirnya kami kembali ke penginapan. Terlelap kelelahan. Dini hari jam 3 pagi, kami bangun bergegas menyiapkan diri untuk mengikuti tur padang pasir Gn.Bromo menuju Pananjakan melihat matahari terbit.
Di Pananjakan sudah banyak orang berkumpul, dari turis domestik seperti saya sampai turis manca negara. Ada juga peneliti dan kelompok pecinta alam. Semua satu tujuan, ingin menyaksikan matahari terbit. Perjalanan dengan berjalan menaiki anak anak tangga cukup menguras tenaga. Setelah tangga dilalui selanjutnya jalan berbatu yang menanjak, hingga sampailah di tanah datar yang dibawahnya ternyata jurang. Harus hati-hati memang, untunglah ada pagarnya. Dari sini kami dapat menyaksikan keindahan matahari terbit. Subhannallah.....
Puas menyaksikan matahari terbit, kami kembali turun. Saat itu matahari pagi sudah mulai terasa menyengat, maklum saja kami kan melihatnya dari dataran tinggi. Pulang dengan menaiki jeep yang sama tetapi melewati jalur yang berbeda hingga sampailah di padang pasir luas. Kami berhenti di sebuah Pura yang biasa di pakai suku tengger yang beragama Hindu untuk ibadah. Di sini kami mengambil foto2 dan beristirahat sejenak, tentu saja hanya boleh di halamannya saja.
Usai melepas lelah, kami menuju obyek wisata Gn.Bromo yang letaknya tidak terlalu jauh dari Pura. Di bawah kaki Gn.Bromo banyak sekali penjual makanan dan minuman. Jajanan gorengan dan mie rebus jadi santapan kami pagi itu. Banyak sekali penduduk setempat (suku tengger) yang menawarkan sewa kuda poni. Tarifnya sih nggak begitu mahal, tapi saya kasian sama kudanya, kebayang nggak sih badanku yang besar gini naik kuda poni yang kecil..(tapi akhirnya naik juga hehehe, biar kecil tapi kudanya kuat kok, kata yang punya kuda) .
Waktunya kami melihat Bromo dari dekat. Ternyata Gn.Bromo tidak terlalu tinggi, bahkan jalan menuju puncaknya telah dibuatkan anak-anak tangga, sehingga turis yang datang tidak kesulitan. Tangga ini juga mempermudah suku tengger membawa sesaji ke puncak Bromo dalam setiap perayaan keagamaan. Awalnya saya menghitung anak2 tangga, tapi karena kelelahan jadi lupa hitungannya hahaaha..pokoknya harus sampe atas. Sampe di puncak, bau belerang sangat menyengat. Kawah gunung yang terlihat jelas dipasang pagar dan papan pengumuman yang bertuliskan "dilarang bersandar". Waahh, pemandangannya jadi bikin ngeri.., pikiran saya sudah yang aneh aneh. Kebayang kalo nggak sengaja kepeleset trus terguling dan jatuh kebawah hiiiiiiiii takut. Padatnya pengunjung juga bikin nafas tambah sesak, bau belerang yang mulai bikin pusing, belum lagi tanah yang kami pijak tidak rata alias berbatu dan berlubang..aaah mulai nggak enak nih.. Lutut masih gemetaran karena kelelahan naik tangga. Nggak mau ambil resiko, saya pun mencari tempat yang agak sepi (walaupun masih rame) diatas gundukan tanah.
Dalam kondisi lelah, masih kusempatkan mengambil beberapa foto. Usai berfoto, kami segera turun ke bawah, rasanya ingin cepat sampai aja. Setiba dibawah, kami langsung pulang menuju penginapan. Setelah beristirahat dan makan pagi kami pun berkemas. Sebelum pulang kami sempatkan untuk mengambil foto berlatar G.Batok yang terlihat jelas dan pemandangan desa suku tengger. Pengalaman seru ini tidak akan pernah saya lupakan..
Ini dokumentasi kami :